Selamat Datang di www.elfaizz.blogspot.com semoga apa yang kami suguhkan bermanfaat, Kami mohon ma'af apabila masih banyak kekurangan dan kesalahan, Kritik dan saran sangat kami harapkan

Selasa, 21 Februari 2012

Nasehat Tiga Lembar Daun

“Assalamu’alaikum” Shinta mengucapkan salam sambil membuka pintu kelas
“Wa’alaikumussalam,” jawab teman-teman Shinta.

Banyak mata mengarahkan pandangan ke sumber suara, termasuk bu Sri.
“Maaf bu, saya terlambat,” ujar Shinta sambil menundukkan kepalanya
“Shinta!! Jangan mentang-mentang kamu anak pandai ya. Minggu kemarin kamu terlambat, sekarang terlambat lagi!!” Muka bu Sri tegang, matanya melotot.
Suasana pagi yang mulai menghangat dengan hangatnya sinar mentari yang mulai masuk ke kelas itu, sepertinya semakin hangat dengan ‘semburan api’ bu Sri
“Itu bu…,” Shinta mencoba membela diri dan ingin menjelaskan permasalahan
“Tidak ada alasan!! Duduk!!”
Shinta berjalan dengan muka tertunduk, nampak sorot matanya sendu.
Pelajaran bu Sri berjalan terasa terseok-seok, lama sekali. Utamanya bagi Shinta yang masih kesal dengan perlakuan gurunya itu.
Shinta mengeluarkan HP-nya, dia mengirimkan pesan singkat ke Amar, “Diptusin brslah, tnpa hak tuk mmbela diri,”
HP Amar bergetar. Dia segera mengeluarkan HP-nya dari saku celananya. Dia membacanya dengan seksama. Segera saja dia membalas, “Elo sabar aja dlu Shin. Tar qta bcarain. Oc? Ayo smangat Shin! Mna Shinta yang gw kenal pnuh semangat? ^_^ “
Kini HP Shinta yang bergetar. Segera membacanya. Shinta tersenyum ketika membaca kalimat “Mna Shinta yang gw kenal pnuh semangat? ^_^ “
Shinta membalas SMS Amar, “Oc. Thx”
Tiga jam mata pelajaran bu Sri pun usai. Anak-anak kelas Shinta dan Amar pun berhamburan keluar. Waktunya istirahat.
“Yuk Mar! Gw mo ngomong ama elo.” Shinta mengajak Amar
“Kemana?” tanya Amar
“Ke kantin aja,”
Amar dan Shinta duduk berhadapan. Mereka memesan teh es manis.
“Gw gak terima Mar,”
Amar hanya mendengar saja.
“Seharusnya ibu itu denger dulu alasan gw. Kenapa gw terlambat?”
“Gw setuju Shin. Gw juga ngerti banget siapa elo. Elo gak bakalan ngebohong. Elo gak bakalan sengaja untuk terlambat. Pasti ada alasannya.”
“Gw sedih banget Mar. Itu khan artinya sama aja ibu itu nganggap gw bohong. Sama aja ibu itu nganggap gw sengaja untuk terlambat.” Nampak tarikan napas Shinta agak berat. Menahan emosi yang ada di dada.
Beberapa saat kemudian, Shinta tak dapat lagi menahan emosinya, air matanya akhirnya jatuh.
“Ups. Udah Shin…Shin…Gak enak tar dilihat orang.”
Air mata Shinta masih terus mengalir.
“Emangnya elo kenapa terlambat?” Amar coba mengalihkan
“Kalo minggu kemarin, di perjalanan gw ke sekolah, ada pohon tumbang. Arus kendaraan jadi macet,” jawab Shinta sambil menyeka air mata di pipinya.
“Kalo hari ini, kenapa?”
“Hari ini, gw habis nolong kakek-kakek yang jatuh dari angkot.”
“Elo di angkot yang sama?”
“Ya, begitu liat kakek itu jatuh, gw langsung turun. Gw langsung ngomel-ngomel sama tuh supir,”
Amar tersenyum melihat tingkah Shinta kali ini. Shinta berdiri sambil berkacak pinggang, “Eh bang!! Ati-ati dong!! Sampe jatuh nih kakek!!”
“Gw ngomel gitu aja Mar,”
“Kaki kakek itu luka Mar. Jadi, gw bawa dia ke rumah sakit.”
“Waah, kalo kakek itu punya cucu yang ganteng dan sholih, kayaknya elo bakal dijadiin ama cucunya ntu?”
“Maksud elo Mar?”
“Hahaha,” Amar tertawa dan dia lihat Shinta sudah mulai dapat tersenyum
Seakan tersadar bahwa permasalahan belum selesai, Amar segera ke kasir kantin membayar dua gelas teh manis.
“Yuk Shin, ikut gw!”
Shinta segera menyusul Amar. “Mau kemana Mar?”
Amar menghentikan langkahnya. “Elo setuju gak, kalo masalah ini, kita ceritain ke pak Uki?”
Wajah Shinta nampak bingung, “Ehm..gimana yah? Gw bingung Mar,”
“Cepet putusin Shin! Kalo masalah ini tidak diselesaikan sekarang, bisa-bisa masalah ini berlarut-larut. Elo bisa jadi korban lagi. Gimana?”
Setelah mendengar penjelasan Amar, Shinta menjadi yakin, “Ok deh,”
Waktu istirahat masih tersisa sekitar tujuh menit.
Amar menjelaskan secara singkat permasalahan yang dihadapi Shinta. Amar sengaja tidak menyebutkan nama guru yang ‘bermasalah’ itu. Pak Uki mendengarkannya dengan seksama.
“Kalo guru itu benar-benar ikhlas, dia tentu akan mudah menerima nasehat,” pak Uki menanggapi cerita Amar itu.
“Amar, coba kamu cari di luar. Daun yang masih hijau, kuning dan yang sudah kering; biasanya berwarna kecoklatan. Tapi jangan dipetik dari pohonnya yah.. Ambil yang sudah berjatuhan di bawah.”
Dua menit kemudian, Amar sudah berada di hadapan pak Uki dan Shinta.
“Serahkan ketiga lembar daun ini kepada guru itu. Katakan ini dari saya,”
Amar dan Shinta nampak bingung.
“Sudah serahkan aja! Gak usah bingung! Sebelum guru itu masuk kelas, kamu temui dulu dia, Nah, masukkan daun-daun itu ke dalam amplop ini.”
“Ya pak,”
“Nah, sekarang kamu liat jadwal guru itu. Habis ini, dia di kelas mana?”
Amar pun melihat jadwal mengajar guru-guru yang tertempel di dinding.
“Udah pak, saya sudah tahu,”
Amar dan Shinta pun pamit.
Teet…teeet…..waktu istirahat pun usai
“Ibu itu ngajar dimana?” tanya Shinta
“Kelas sebelah Shin. Udah elo masuk aja dulu,”
Amar pun menanti bu Sri lewat
Tak lama kemudian, bu Sri lewat
“Ibu..maaf,”
“Ada apa Mar?” tanya bu Sri
“Ini ada titipan dari pak Uki,” jawab Amar sambil menyerahkan Amar
Bu Sri menerimanya. “Ya udah, makasih ya Mar,”
Bu Sri melihat-lihat amplop itu.
Di dalam kelas, “Selamat pagi anak-anak..”
“Pagi buuuu,”
“Anak-anak, coba kerjakan latihan yang ada di halaman 40,” bu Sri mengeluarkan instruksi
Kelas yang terdiri dari empat baris nampak ramai. Semua bangku terisi penuh, tidak ada yang absen. Ada yang baru mengeluarkan buku cetak Matematika, pelajaran yang diajarkan bu Sri. Ada juga yang sudah mulai mengerjakan latihan. Juga ada yang masih kipas-kipas, mungkin sisa pedas bakso yang dimakannya masih terasa.
Sementara bu Sri membuka amplop yang diberikan Amar tadi. Bu Sri mendapati 3 lembar daun. Kening bu Sri berkerut, mencoba memahami maksud dari amplop berisi daun itu. Daun yang terdiri dari daun berwarna hijau, kuning dan coklat.
“Daun berwarna hijau berarti daun yang masih muda. Yang kuning berarti daun yang sudah matang dan berwarna coklat adalah daun yang sudah tua,” begitu bu Sri berbisik mencoba memahami.
Tak lama kemudian, jatuhlah air mata bu Sri, “Astaghfirullah! Ini benar-benar nasehat untuk saya. Saya harus minta maaf sama Shinta.”
Cepat-cepat bu Sri mengambil tisu dan digunakan untuk mengeringkan air mata yang sempat hinggap di pipi.
“Teet….teet…” waktu istirahat kembali tiba
Bu Sri segera keluar. Di pintu kelas Amar, dia berhenti, melambaikan tangan ke Amar.
Amar yang merasa dipanggil menunjukkan ke dirinya. Mulutnya bergerak, “Saya bu?”
Bu Sri mengangguk.
Amar segera berjalan melewati empat baris tempat duduk temannya. Shinta sempat melihatnya.
“Mar, nanti minta Shinta ke ruang guru yah?” pinta bu Sri
Bu Sri langsung berjalan menuju ruang guru dan Amar segera menuju Shinta, “Sst, elo diminta ke ruang guru tuk nemui bu Sri,”
“Ada apa ya Mar? Apa ini karena tiga lembar daun itu? Apa bu Sri semakin marah?” tanya Shinta
“Mungkin juga Shin. Tapi, barangkali ini kabar baik Shin,” jawab Amar.
“Amien, doa’in gw ya Mar,”
“Ok. Tenang aja,”
Sewaktu dimarahi tadi pagi, Shinta berjalan lesu dan sedih. Tapi kali ini, jalannya Shinta berbeda. Melangkah dengan pasti. Merasa dapat dukungan dari sahabatnya dan berharap tiga lembar daun itu dapat berefek baik pada bu Sri. Karena dia yakin pak Uki memberikan 3 lembar daun itu untuk hal yang baik.
Sampai di pintu ruang guru, Shinta mencoba mencari wajah bu Sri. Bu Sri sedang duduk sendiri, di pojok kiri ruang guru.
“Assalamu’alaikum,” Shinta mengucapkan salam
“Wa’alaikumussalam. Duduk Shin,” bu Sri mempersilahkan Shinta dengan ramah
“Wah maaf nih Shin, waktu istirahat kamu mungkin akan terpakai. Gimana? Gak apa apa?”
“Gak apa apa bu,”
“Ibu manggil kamu kesini, karena ibu ingin minta maaf sama kamu,”
“Ooo… gak apa apa bu. Itu memang salah Shinta. Shinta sudah dua kali terlambat, pas jam pelajaran ibu. Ibu bisa saja berpikiran bahwa saya bohong. Ibu bisa saja menyangka bahwa saya meremehkan pelajaran ibu. Saya terima itu,” Shinta berbicara dengan merendah, tapi disertai dengan sindiran halus.
Ibu Sri menangkap sindiran Shinta, “Ibu yakin kamu tidak bohong. Ibu juga yakin kamu tidak meremehkan pelajaran ibu. Sekali lagi ibu minta maaf, yah. Kamu tahu gak, apa yang membuat ibu menyadari kesalahan ibu?”
“Tidak bu,”
Bu Sri segera mengeluarkan sebuah amplop. Isinya pun dikeluarkan.
“Tiga lembar daun, bu?”
“Ya Shin. Tiga lembar daun ini yang ‘menyentil’ ibu,”
Shinta senang karena ternyata ibu Sri dapat sadar. Tapi dia masih bingung, kok tiga lembar daun dapat menyadarkannya?
“Kok bisa sih bu, tiga lembar daun bisa berpengaruh seperti itu? Emang artinya apa bu?”
“Shinta…ini ada tiga lembar daun. Tiga lembar daun yang telah gugur jatuh ke bumi atau gugur karena dipetik orang,”
“Trus bu?”
“Daun pertama berwarna hijau, itu artinya daun masih muda. Daun kedua berwarna kuning, itu artinya daun sudah remaja atau dewasa. Daun ketiga berwarna coklat, itu artinya daunnya sudah tua. Begitu juga usia manusia Shin. Ada yang masih bayi dan masih kecil, tapi sudah dipanggil oleh Allah. Ada yang sudah sangat tua, tapi masih segar bugar. Kita tidak dapat berbuat apa-apa, semuanya merupakan hak Allah untuk memutuskannya,”
Shinta kagum pada bu Sri. Dia tidak menyangka bu Sri yang tadi pagi, nampak seperti ‘singa betina’. Kali ini, hatinya begitu halus dan amat peka sekali. Dapat menerima sebuah pesan, walau berbentuk symbol.
“Apalah ibu? Ibu hanya seorang guru. Baru jadi guru saja sudah sombong dan berbuat sewenang-wenang. Seorang penguasa saja, tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Allah. Tidak bisa mengelak bila ajalnya telah ditentukan oleh Allah,”
Shinta tersenyum.
“Sekali lagi ibu minta maaf ya Shin?”
“Ya bu, sama-sama. Shinta juga terima kasih mendapat pelajaran dari ibu. Saya tadi sempat bingung. Tiga lembar daun dapat memberikan nasehat.”
“Ibu sebenarnya, tidak ingin marah. Tapi tadi ibu dapat telepon dari adik ibu bahwa ayah jatuh dari angkot?”
“Ayah ibu jatuh dari angkot? Dimana bu?”
“Di pertigaan jalan Dewi Sartika,”
Shinta berpikir, “Bukankah kakek-kakek tadinya juga jatuh dari angkot dan jatuhnya di pertigaan jalan Dewi Sartika? Jangan-jangan kakek itu ayahnya ibu Sri?”
“Alhamdulillah, ada pelajar SMA yang menolongnya. Seorang pelajar putri berjilbab. Dia langsung membawa ayah ke rumah sakit,”
Penjelasan ibu Sri yang terakhir ini semakin meyakinkan Shinta bahwa kakek yang ditolongnya itu adalah ayah dari bu Sri. Tapi Shinta tidak ingin menjelaskan hal ini. Selain tidak bagus menepuk dada sendiri, bu Sri dalam posisi yang kurang menguntungkan. Kalo bu Sri tahu bahwa Shinta lah yang membawa ayahnya ke rumah sakit, tentu ibu Sri akan semakin merasa bersalah pada Shinta.

Terinspirasi
1.    Dari kisah Umar ra yang menasehati gubernurnya dengan mengirimkan/menitipkan kepada utusan gubernuh sebuah tulang yang sudah digariskan dengan pedang. Tulang itu bermakna, “Janganlah engkau sombong dan berbuat sewenang-wenang. Karena engkau akan menjadi seperti tulang ini. Bila engkau tidak juga berlaku lurus, maka saya yang akan meluruskannya dengan pedang, seperti garis lurus di tulang ini.”




0 komentar:

Posting Komentar

Photobucket